Nama Lengkap
: Abdurrahman Wahid
Alias : Gus
Dur
Profesi : -
Agama : Islam
Tempat Lahir
: Jombang
Tanggal
Lahir : Minggu, 4 Agustus 1940
Zodiac : Leo
Warga Negara
: Indonesia
Istri : Sinta Nuriyah
Anak : Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah
Chafsoh Rahman Wahid, Anita
Hayatunnufus, Inayah Wulandari
Ayah : K.H. Wahid Hasyim
Ibu : Ny. Hj. Sholehah
Saudara : Salahuddin Wahid
BIOGRAFI
Kyai Haji Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur lahir di
Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7 September 1940. Ia lahir dengan nama
Abdurrahman Adakhil yang berarti sang penakluk. Karena kata “Adakhil” tidak
cukup dikenal, maka diganti dengan nama “Wahid” yang kemudian lebih dikenal
dengan Gus Dur. Gus adalah panggilan kehormatan khas Pesantren kepada seorang
anak kiai yang berarti “abang atau mas”.
Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang
cukup terhormat. Kakek dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan pendiri
Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri,
adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.
Ayahnya K.H. Wahid Hasyim merupakan sosok yang terlibat dalam Gerakan
Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949, sedangkan ibunya Ny. Hj.
Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denayar Jombang.
Gus Dur pernah menyatakan secara terbuka bahwa ia adalah keturunan TiongHoa
dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan a Lok, yang merupakan saudara kandung
dari Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang merupakan pendiri kesultanan Demak. Tan a Lok
dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Puteri Campa yang merupakan Puteri
Tiongkok yaitu selir Raden Brawijaya V. Berdasarkan penelitian seorang peneliti
Perancis Louis Charles Damais, Tan Kim Han diidentifikasikan sebagai Syekh
Abdul Qodir Al Shini yang makamnya ditemukan di Trowulan.
Pada tahun 1944 Abdurrahman Wahid pindah dari kota asalnya Jombang menuju
Jakarta, karena pada saat itu ayahnya terpilih menjadi ketua pertama Partai
Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang biasa disingkat “Masyumi”. Masyumi adalah
sebuah organisasi dukungan dari tentara Jepang yang pada saat itu menduduki
Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang
mempertahankan kedaulatan Indonesia melawan Belanda. Ia kembali ke Jakarta pada
akhir perang tahun 1949 karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.
Gus Dur menempuh ilmu di Jakarta dengan masuk ke SD Kris sebelum pindah ke SD
Matraman Perwari. Pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak menjadi Menteri Agama
tetapi beliau tetap tinggal di Jakarta. Pada tahun 1953 di bulan April ayah Gus
Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pada tahun 1954 pendidikannya berlanjut dengan masuk ke sekolah menengah
pertama, yang pada saat itu ia tidak naik kelas. Lalu ibunya mengirimnya ke
Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.
Setelah lulus dari SMP pada tahun 1957, Gus Dur memulai pendidikan muslim di
sebuah Pesantren yang bernama Pesantren Tegalrejo di Kota Magelang. Pada tahun
1959 ia pindah ke Pesantren Tambakberas di Kota Jombang. Sementara melanjutkan
pendidikanya, ia juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai seorang guru yang
nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Bahkan ia juga bekerja sebagai
jurnalis Majalah Horizon serta Majalah Budaya Jaya.
Pada tahun 1963, ia menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk melanjutkan
pendidikan di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir
pada November tahun 1963. Universitas memberitahu Gus Dur untuk mengambil kelas
remedial sebelum belajar bahasa Arab dan belajar islam. Meskipun mahir
berbahasa Arab, ia tidak mampu memberikan bukti bahwa sesungguhnya ia mahir
berbahasa Arab. Ia pun terpaksa harus mengambil kelas remedial.
Pada tahun 1964 Gus Dur sangat menikmati kehidupannya di Mesir. Ia
menikmati hidup dengan menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menikmati
menonton sepakbola. Gus Dur juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar
Indonesia dan menjadi jurnalis majalah dari asosiasi tersebut. Akhirnya ia
berhasil lulus dari kelas remedialnya pada akhir tahun. Pada tahun 1965 ia
memulai belajar ilmu Islam dan juga bahasa Arab. Namun Gus Dur kecewa dan
menolak metode belajar dari universitas karena ia telah mempelajari ilmu yang
diberikan.
Di Mesir, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Namun pada saat ia
bekerja peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) terjadi. Upaya pemberantasan
komunis dilakukan di Jakarta dan yang menangani saat itu adalah Mayor Jendral
Suharto. Sebagai bagian dari upaya tersebut. Gus Dur diperintahkan untuk
melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan
kedudukan politik mereka. Ia menerima perintah yang ditugaskan menulis laporan.
Akhirnya ia mengalami kegagalan di Mesir. Hal ini terjadi karena Gus Dur tidak
setuju akan metode pendidikan di universitas dan pekerjaannya setelah G 30 S
sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966 ia harus mengulang pendidikannya.
Namun pendidikan pasca sarjana Gus Dur diselamatkan oleh beasiswa di
Universitas Baghdad. Akhirnya ia pindah menuju Irak dan menikmati lingkungan
barunya. Meskipun pada awalnya ia lalai, namun ia dengan cepat belajar. Gus Dur
juga meneruskan keterlibatannya dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan sebagai
penulis majalah Asosiasi tersebut.
Pada tahun 1970 ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad. Setelah
itu, Gus Dur ke Belanda untuk meneruskan pendidikan. Ia ingin belajar di
Universitas Leiden, namun ia kecewa karena pendidikan di Universitas Baghdad
tidak diakui oleh universitas tersebut. Akhirnya ia pergi ke Jerman dan
Perancis sebelum kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1971.
Di Jakarta, Gus Dur berharap akan kembali ke luar negeri untuk belajar di
Universitas McGill di Kanada. Ia pun bergabung ke Lembaga Penelitian,
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Organisasi ini terdiri
dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES
mendirikan majalah yang bernama Prima dan Gus Dur menjadi salah satu
kontributor utama majalah tersebut. Beliau berkeliling pesantren di seluruh Jawa.
Pada saat itu pesantren berusaha keras untuk mendapatkan pendanaan dari
pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Karena nilai-nilai pesantren
semakin luntur akibat perubahan ini, Gus Dur pun prihatin dengan kondisi
tersebut. Ia juga prihatin akan kemiskinan yang melanda pesantren yang ia
lihat. Melihat kondisi tersebut Gus Dur membatalkan belajar ke luar negeri dan
lebih memilih mengembangkan pesantren.
Akhirnya ia meneruskan kariernya sebagai seorang jurnalis pada Majalah Tempo
dan Koran Kompas. Tulisannya dapat diterima dengan baik. Ia mengembangkan
reputasi sebagai komentator sosial. Dengan itu ia mendapatkan banyak undangan
untuk memberikan seminar sehingga membuatnya sering pulang dan pergi antara
Jakarta dan Jombang.
Meskipun kariernya bisa meraih kesuksesan namun ia masih merasa sulit hidup
karena hanya memiliki satu sumber pencaharian. Ia pun bekerja kembali dengan
profesi berbeda untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual
kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 ia menjabat sebagai Sekretaris Umum
Pesantren Tebu Ireng hingga tahun 1980. Pada tahun 1980 ia menjabat sebagai
seorang Katib Awwal PBNU hingga pada tahun 1984. Pada tahun 1984 ia naik
pangkat sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur menjabat sebagai
Ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 1989 kariernya pun meningkat dengan
menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Dan hingga akhirnya
pada tahun 1999 sampai 2001 ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Sebagai seorang Presiden RI, Gus Dur memiliki pendekatan-pendekatan yang
berbeda dalam menyikapi suatu permasalahan bangsa. Ia melakukan pendekatan yang
lebih simpatik kepada kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengayomi etnis
Tionghoa , meminta maaf kepada keluarga PKI yang mati dan disiksa, dan
lain-lain. Selain itu, Gus Dur juga dikenal sering melontarkan
pernyataan-pernyataan kontroversial, yang salah satunya adalah mengatakan bahwa
anggota MPR RI seperti anak TK.
Hanya sekitar 20 bulan Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Musuh-musuh
politiknya memanfaatkan benar kasus Bulloggate dan Bruneigate untuk menggoyang
kepemimpinannya. Belum lagi hubungan yang tidak harmonis dengan TNI, Partai
Golkar, dan elite politik lainnya. Gus Dur sendiri sempat mengeluarkan dekrit
yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan
rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan
Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun
dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli 2001, MPR secara
resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
Sebelumnya, pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina
(Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan
larangan penggunaan huruf Tionghoa.
Setelah berhenti menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak berhenti untuk
melanjutkan karier dan perjuangannya. Pada tahun 2002 ia menjabat sebagai
penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Dan pada tahun 2003, Gus Dur
menjabat sebagai Penasihat pada Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional.
Tahun 2004, Gus Dur kembali berupaya untuk menjadi Presiden RI. Namun keinginan
ini kandas karena ia tidak lolos pemeriksaan kesehatan oleh Komisi Pemilihan
Umum.
Pada Agustus 2005 Gus Dur menjadi salah satu pimpinan koalisi politik yang
bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Tri Sutrisno,
Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada tahun 2009 Gus Dur menderita beberapa penyakit. Bahkan sejak ia menjabat
sebagai presiden, ia menderita gangguan penglihatan sehingga surat dan buku
seringkali dibacakan atau jika saat menulis seringkali juga dituliskan. Ia
mendapatkan serangan stroke, diabetes, dan gangguan ginjal. Akhirnya Gus Dur
pun pergi menghadap sang khalik (meninggal dunia) pada hari Rabu 30 Desember
2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada pukul 18.45 WIB.
Riset dan Analisa oleh Siwi P. Rahayu
PENDIDIKAN
- 1957-1959 Pesantren Tegalrejo,
Magelang, Jawa Tengah
- 1959-1963 Pesantren Tambak
Beras, Jombang, Jawa Timur
- 1964-1966 Al Azhar University,
Cairo, Mesir, Fakultas Syari'ah (Kulliyah al-Syari'ah)
- 1966-1970 Universitas Baghdad,
Irak, Fakultas Adab Jurusan Sastra Arab
KARIR
- 1972-1974 Fakultas Ushuludin
Universitas Hasyim Ashari, Jombang, sebagai Dekan dan Dosen
- 1974-1980 Sekretaris Umum
Pesantren Tebu Ireng
- 1980-1984 Katib Awwal PBNU
- 1984-2000 Ketua Dewan Tanfidz
PBNU
- 1987-1992 Ketua Majelis Ulama
Indonesia
- 1989-1993 Anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat RI
- 1998 Partai Kebangkitan Bangsa,
Indonesia, Ketua Dewan Syura DPP PKB
- 1999-2001 Presiden Republik
Indonesia
- 2000 Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama, Mustasyar
- 2002 Rektor Universitas Darul
Ulum, Jombang, Jawa Timur, Indonesia
- 2004 Pendiri The WAHID
Institute, Indonesia
PENGHARGAAN
- 2010 Lifetime Achievement Award
dalam Liputan 6 Awards 2010
- 2010 Bapak Ombudsman Indonesia
oleh Ombudsman RI
- 2010 Tokoh Pendidikan oleh
Ikatan Pelajar Nadhlatul Ulama (IPNU)
- 2010 Mahendradatta Award 2010
oleh Universitas Mahendradatta, Denpasar, Bali
- 2010 Ketua Dewan Syuro Akbar
PKB oleh PKB Yenny Wahid
- 2010 Bintang Mahaguru oleh DPP
PKB Muhaimin Iskandar
- 2008 Penghargaan sebagai tokoh
pluralisme oleh Simon Wiesenthal Center
- 2006 Tasrif Award oleh Aliansi
Jurnanlis Independen (AJI)
- 2004 Didaulat sebagai “Bapak
Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang
- 2004 Anugrah Mpu Peradah, DPP
Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia, Jakarta, Indonesia
- 2004 The Culture of Peace
Distinguished Award 2003, International Culture of Peace Project Religions
for Peace, Trento, Italia
- 2003 Global Tolerance Award,
Friends of the United Nations, New York, Amerika Serikat
- 2003 World Peace Prize Award,
World Peace Prize Awarding Council (WPPAC), Seoul, Korea Selatan
- 2003 Dare to Fail Award , Billi
PS Lim, penulis buku paling laris "Dare to Fail", Kuala Lumpur,
Malaysia
- 2002Pin Emas NU, Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama, Jakarta, Indonesia.
- 2002 Gelar Kanjeng Pangeran
Aryo (KPA), Sampeyan dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono
XII, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia
- 2001 Public Service Award,
Universitas Columbia , New York , Amerika Serikat
- 2000 Ambassador of Peace,
International and Interreligious Federation for World peace (IIFWP), New
York, Amerika Serikat
- 2000 Paul Harris Fellow, The
Rotary Foundation of Rotary International
- 1998 Man of The Year, Majalah
REM, Indonesia
- 1993 Magsaysay Award, Manila ,
Filipina
- 1991 Islamic Missionary Award ,
Pemerintah Mesir
- 1990 Tokoh 1990, Majalah
Editor, Indonesia
- Doktor Kehormatan:
- Doktor Kehormatan bidang
Filsafat Hukum dari Universitas Thammasat, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari Asian
Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000
- Doktor Kehormatan bidang Ilmu
Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari
Pantheon Universitas Sorbonne, Paris, Perancis (2000)
- Doktor Kehormatan dari
Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thailand (2000)
- Doktor Kehormatan dari
Universitas Twente, Belanda (2000)
- Doktor Kehormatan dari
Universitas Jawaharlal Nehru, India (2000)
- Doktor Kehormatan dari
Universitas Soka Gakkai, Tokyo, Jepang (2002)
- Doktor Kehormatan bidang
Kemanusiaan dari Universitas Netanya, Israel (2003)
- Doktor Kehormatan bidang Hukum
dari Universitas Konkuk, Seoul, Korea Selatan (2003)
- Doktor Kehormatan dari
Universitas Sun Moon, Seoul, Korea Selatan (2003
Pembaca yg budiman, tentu anda tahu sosok yg satu
ini, seorang ulama, tokoh politik dan juga mantan presiden RI.
Adalah sosok yg dikenal luas baik di dlm negeri maupun dimanca negara..terlebih
di kalangan nahdliyin ( NU ).
Sosok yg penuh humor sekaligus penuh kontroversi..yg terkenal dgn istilah ”
gitu aja kog repot “.
Tapi banyak orang yang tidak
percaya bahwa Gus Dur yang
terkenal kontroversial ini
adalah keturunan nabi, namun
dalam kenyataannya, silsilah
gus dur menyambung ke
rasullulah SAW.
Dapat dibuktikan dari sebuah
Al-kitab Talchis karangan
Abdulloh Bin Umar Assathiri.
Sumber ini diklaim telah
diteliti dan direstui Rois Aam
Jam’iyah Ahlith Thoriqoh Al
Muktabaroh An Nahdliyyah KH.
Habib Lutfi Ali Yahya,
Pekalongan.
Berikut petikan silsilah Gus
Dur sampai ke Nabi Muhammad
SAW:
1. Muhammad Salallahu Alaihi
Wailaihi Wasalam,
2. Sayyidina Fatimatus Zahro
dengan Sayyidina Ali,
3. Sayyidina Husen Bin Ali,
4. Sayyidina Ali Zaenal
Abidin,
5. Sayyidina Muhammad Al-
Baqir,
6. Sayyidina Ja’far Shodiq,
7. Sayyidina Ali AL-Uroidi,
8. Sayyidina Muhammad
Annaqib,
9. Sayyidina Sayyidina Isa
Arrumi,
10. Sayyidina Ahmad Al-
Muhajir Ilallah.
11. Sayyidina Ubaidillah,
12. Sayyidina Alawi,
13. Sayyidina Muhammad,
14. Sayyidina Alawi Muhammad,
15. Sayyidina Ali Choli’
Qosam,
16. Sayyidina Muhammad
Shohibul Mirbath,
17. Sayyidina Alawi,
18. Sayyidina Amir Abdul
Malik,
19. Sayyidina Abdulloh Khon,
20. Sayyidina Ahmad Syah
Jalal,
21. Sayyidina Jamaludin
Khusen,
22. Sayyidina Ibrohim Asmuro,
23. Sayyidina Ishak,
24. Sayyidina Ainul Yaqin
(Sunan Giri),
25. Sayyidina Abdurrohman
(Jaka Tingkir),
26. Sayyidina Abdul Halim (P.
Benawa),
27. Sayyidina Abdurrohman (P.
Samhud Bagda),
28. Sayyidina Abdul Halim,
29. Sayyidina Abdul Wahid,
30. Sayyidina Abu Sarwan.
31. Sayyidina KH. As’ari,
32. Sayyidina KH. Hasyim
As’ari
33. Sayyidina KH. Abdul Wahid
Hasyim
34 KH. Abdurrahman Wahid (Gus
Dur).
Berikut silsilah Gus Dur
Melalui Sunan Giri :
01. KH. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur)
02. bin KH. Abdul Wahid
03. bin Nyai Hasyim Asy’ari
04. binti Nyai Nafiqoh
05. binti Kyai Ilyas
06. bin Kyai Mas Buntoro
07. bin Nyai Muhammad Santri
08. binti Nyai Ageng
Basyariah
09. binti Ki Ageng Muhammad
Besari
10. bin Nyai Anom Besari
11. binti Panembahan Giri
12. bin Sunan Kawis Guwo
13. bin Sunan Prapen
14. bin Sunan Sedo Ing Margi
15. bin Sunan Dalem Wetan
16. bin Sunan Giri
17. bin Maulana Ishaq
18. bin Ibrahim Zain Al-Akbar
(Ibrahim Asmoro).
19. bin Syekh Husain
Jamaluddin
20. bin Ahmad Syah
Jalaluddin.
21. bin Abdullah
22. bin Abdul Malik Azmatkhan
23. bin Alawi ‘Ammil Faqih
24. bin Muhammad Shahib
Mirbath
25. bin Ali Khali’ Qasam
26. bin Alawi
27. bin Muhammad
28. bin Alawi
29. bin Ubaidillah
30. bin Al-Imam Ahmad Al-
Muhajir
31. bin Isa An-Naqib
32. bin Muhammad An-Naqib
33. bin Ali Al-Uradhi
34. bin Al-Imam Ja’far Ash-
Shadiq
35. bin Al-Imam Muhammad Al-
Baqir
36. bin Al-Imam Ali Zainal
Abidin
37. bin Al-Iman Husain bin Ali
bin Abi Thalib
38. bin Fathimah Az-Zahra’
39. binti Muhammad Rasulillah
Nah..sudah jelas kan, jika anda masih ragu silahkan
cari informasi dari sumber2 yg anda percayai..gitu aja kog repot,. ..hehehe..
Artikel ini hanya sbg sarana untuk belajar dan mengenal profil seorang gusdur.
Sebagai catatan akhir, saya hanya menyampaikan bahwa sebenarnya bukan atau
tidak masalah Gusdur keturunan nabi saw atau bukan..yg penting hemat saya..yuk
kita cintai para ulama,habib..dan guru-guru kita..karena lewat merekalah kita
bisa lbh mengenal islam secara keseluruhan, walaupun masih banyak yg harus kita
benahi..
Mencintai para ulama, habib dan guru2 agama kita berarti mencintai
islam..mencintai ajaran rasulullah..mencintai rosulullah berarti mencintai
islam…dan berarti jg mencintai Allah..
Yuk kita cintai Allah dan Rosul kita..melebihi cinta pada apapun atau
siapapun..mudah2an kita mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.
Simak kisah ini :
Suatu hari seorang sahabat bertanya kpd rosul Saw, ” ya rosul,siapa orang yg
berbahagia didunia ini? “
Rosul menjawab, ” yaitu orang yg pernah melihatku “
“adakah yg lebih berbahagia lagi ya rosul? “, tanya sahabat.
” ada, yaitu orang yg belum pernah melihatku, tp mempercayai ajaranku ” jawab
rosulullah..
Nah , dlm hal ini adalah kita semua yg mempercayai
ajaran rosul Saw..berbahagialah kita..bahkan seandainya kita bermimpi bertemu
rosul Saw pun, kita termasuk golongan orang yg beruntung, krn tdk semua orang
bisa bermimpi bertemu beliau..bahkan setan pun tdk sanggup menyamar sbg rosul
Saw, walaupun hanya lewat mimpi..
Subhanallah..maha suci Allah.
Istri : Sinta Nuriyah
Anak : Alissa Qotrunnada, Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid, Anita
Ayah : K.H. Wahid Hasyim
Ibu : Ny. Hj. Sholehah
Saudara : Salahuddin Wahid
Gus Dur adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang cukup terhormat. Kakek dari ayahnya, K.H. Hasyim Asyari, merupakan pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sementara itu kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayahnya K.H. Wahid Hasyim merupakan sosok yang terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949, sedangkan ibunya Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denayar Jombang.
Gus Dur pernah menyatakan secara terbuka bahwa ia adalah keturunan TiongHoa dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan a Lok, yang merupakan saudara kandung dari Raden Patah (Tan Eng Hwa) yang merupakan pendiri kesultanan Demak. Tan a Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Puteri Campa yang merupakan Puteri Tiongkok yaitu selir Raden Brawijaya V. Berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis Louis Charles Damais, Tan Kim Han diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir Al Shini yang makamnya ditemukan di Trowulan.
Pada tahun 1944 Abdurrahman Wahid pindah dari kota asalnya Jombang menuju Jakarta, karena pada saat itu ayahnya terpilih menjadi ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia yang biasa disingkat “Masyumi”. Masyumi adalah sebuah organisasi dukungan dari tentara Jepang yang pada saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang mempertahankan kedaulatan Indonesia melawan Belanda. Ia kembali ke Jakarta pada akhir perang tahun 1949 karena ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama.
Gus Dur menempuh ilmu di Jakarta dengan masuk ke SD Kris sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Pada tahun 1952 ayahnya sudah tidak menjadi Menteri Agama tetapi beliau tetap tinggal di Jakarta. Pada tahun 1953 di bulan April ayah Gus Dur meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.
Pada tahun 1954 pendidikannya berlanjut dengan masuk ke sekolah menengah pertama, yang pada saat itu ia tidak naik kelas. Lalu ibunya mengirimnya ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikan.
Setelah lulus dari SMP pada tahun 1957, Gus Dur memulai pendidikan muslim di sebuah Pesantren yang bernama Pesantren Tegalrejo di Kota Magelang. Pada tahun 1959 ia pindah ke Pesantren Tambakberas di Kota Jombang. Sementara melanjutkan pendidikanya, ia juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai seorang guru yang nantinya sebagai kepala sekolah madrasah. Bahkan ia juga bekerja sebagai jurnalis Majalah Horizon serta Majalah Budaya Jaya.
Pada tahun 1963, ia menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada November tahun 1963. Universitas memberitahu Gus Dur untuk mengambil kelas remedial sebelum belajar bahasa Arab dan belajar islam. Meskipun mahir berbahasa Arab, ia tidak mampu memberikan bukti bahwa sesungguhnya ia mahir berbahasa Arab. Ia pun terpaksa harus mengambil kelas remedial.
Pada tahun 1964 Gus Dur sangat menikmati kehidupannya di Mesir. Ia menikmati hidup dengan menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menikmati menonton sepakbola. Gus Dur juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah dari asosiasi tersebut. Akhirnya ia berhasil lulus dari kelas remedialnya pada akhir tahun. Pada tahun 1965 ia memulai belajar ilmu Islam dan juga bahasa Arab. Namun Gus Dur kecewa dan menolak metode belajar dari universitas karena ia telah mempelajari ilmu yang diberikan.
Di Mesir, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia. Namun pada saat ia bekerja peristiwa Gerakan 30 September (G 30 S) terjadi. Upaya pemberantasan komunis dilakukan di Jakarta dan yang menangani saat itu adalah Mayor Jendral Suharto. Sebagai bagian dari upaya tersebut. Gus Dur diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Ia menerima perintah yang ditugaskan menulis laporan.
Akhirnya ia mengalami kegagalan di Mesir. Hal ini terjadi karena Gus Dur tidak setuju akan metode pendidikan di universitas dan pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya. Pada tahun 1966 ia harus mengulang pendidikannya. Namun pendidikan pasca sarjana Gus Dur diselamatkan oleh beasiswa di Universitas Baghdad. Akhirnya ia pindah menuju Irak dan menikmati lingkungan barunya. Meskipun pada awalnya ia lalai, namun ia dengan cepat belajar. Gus Dur juga meneruskan keterlibatannya dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan sebagai penulis majalah Asosiasi tersebut.
Pada tahun 1970 ia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad. Setelah itu, Gus Dur ke Belanda untuk meneruskan pendidikan. Ia ingin belajar di Universitas Leiden, namun ia kecewa karena pendidikan di Universitas Baghdad tidak diakui oleh universitas tersebut. Akhirnya ia pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1971.
Di Jakarta, Gus Dur berharap akan kembali ke luar negeri untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia pun bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Organisasi ini terdiri dari kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan majalah yang bernama Prima dan Gus Dur menjadi salah satu kontributor utama majalah tersebut. Beliau berkeliling pesantren di seluruh Jawa.
Pada saat itu pesantren berusaha keras untuk mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan mengadopsi kurikulum pemerintah. Karena nilai-nilai pesantren semakin luntur akibat perubahan ini, Gus Dur pun prihatin dengan kondisi tersebut. Ia juga prihatin akan kemiskinan yang melanda pesantren yang ia lihat. Melihat kondisi tersebut Gus Dur membatalkan belajar ke luar negeri dan lebih memilih mengembangkan pesantren.
Akhirnya ia meneruskan kariernya sebagai seorang jurnalis pada Majalah Tempo dan Koran Kompas. Tulisannya dapat diterima dengan baik. Ia mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan itu ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan seminar sehingga membuatnya sering pulang dan pergi antara Jakarta dan Jombang.
Meskipun kariernya bisa meraih kesuksesan namun ia masih merasa sulit hidup karena hanya memiliki satu sumber pencaharian. Ia pun bekerja kembali dengan profesi berbeda untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es. Pada tahun 1974 ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pesantren Tebu Ireng hingga tahun 1980. Pada tahun 1980 ia menjabat sebagai seorang Katib Awwal PBNU hingga pada tahun 1984. Pada tahun 1984 ia naik pangkat sebagai Ketua Dewan Tanfidz PBNU. Tahun 1987 Gus Dur menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia. Pada tahun 1989 kariernya pun meningkat dengan menjadi seorang anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat RI. Dan hingga akhirnya pada tahun 1999 sampai 2001 ia menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Sebagai seorang Presiden RI, Gus Dur memiliki pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam menyikapi suatu permasalahan bangsa. Ia melakukan pendekatan yang lebih simpatik kepada kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengayomi etnis Tionghoa , meminta maaf kepada keluarga PKI yang mati dan disiksa, dan lain-lain. Selain itu, Gus Dur juga dikenal sering melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial, yang salah satunya adalah mengatakan bahwa anggota MPR RI seperti anak TK.
Hanya sekitar 20 bulan Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Musuh-musuh politiknya memanfaatkan benar kasus Bulloggate dan Bruneigate untuk menggoyang kepemimpinannya. Belum lagi hubungan yang tidak harmonis dengan TNI, Partai Golkar, dan elite politik lainnya. Gus Dur sendiri sempat mengeluarkan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekrit tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli 2001, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri.
Sebelumnya, pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa.
Setelah berhenti menjabat sebagai presiden, Gus Dur tidak berhenti untuk melanjutkan karier dan perjuangannya. Pada tahun 2002 ia menjabat sebagai penasihat Solidaritas Korban Pelanggaran HAM. Dan pada tahun 2003, Gus Dur menjabat sebagai Penasihat pada Gerakan Moral Rekonsiliasi Nasional.
Tahun 2004, Gus Dur kembali berupaya untuk menjadi Presiden RI. Namun keinginan ini kandas karena ia tidak lolos pemeriksaan kesehatan oleh Komisi Pemilihan Umum.
Pada Agustus 2005 Gus Dur menjadi salah satu pimpinan koalisi politik yang bernama Koalisi Nusantara Bangkit Bersatu. Bersama dengan Tri Sutrisno, Wiranto, Akbar Tanjung dan Megawati, koalisi ini mengkritik kebijakan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada tahun 2009 Gus Dur menderita beberapa penyakit. Bahkan sejak ia menjabat sebagai presiden, ia menderita gangguan penglihatan sehingga surat dan buku seringkali dibacakan atau jika saat menulis seringkali juga dituliskan. Ia mendapatkan serangan stroke, diabetes, dan gangguan ginjal. Akhirnya Gus Dur pun pergi menghadap sang khalik (meninggal dunia) pada hari Rabu 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada pukul 18.45 WIB.
Riset dan Analisa oleh Siwi P. Rahayu
Adalah sosok yg dikenal luas baik di dlm negeri maupun dimanca negara..terlebih di kalangan nahdliyin ( NU ).
Sosok yg penuh humor sekaligus penuh kontroversi..yg terkenal dgn istilah ” gitu aja kog repot “.
percaya bahwa Gus Dur yang
terkenal kontroversial ini
adalah keturunan nabi, namun
dalam kenyataannya, silsilah
gus dur menyambung ke
rasullulah SAW.
Dapat dibuktikan dari sebuah
Al-kitab Talchis karangan
Abdulloh Bin Umar Assathiri.
Sumber ini diklaim telah
diteliti dan direstui Rois Aam
Jam’iyah Ahlith Thoriqoh Al
Muktabaroh An Nahdliyyah KH.
Habib Lutfi Ali Yahya,
Pekalongan.
Dur sampai ke Nabi Muhammad
SAW:
Wailaihi Wasalam,
2. Sayyidina Fatimatus Zahro
dengan Sayyidina Ali,
3. Sayyidina Husen Bin Ali,
4. Sayyidina Ali Zaenal
Abidin,
5. Sayyidina Muhammad Al-
Baqir,
6. Sayyidina Ja’far Shodiq,
7. Sayyidina Ali AL-Uroidi,
8. Sayyidina Muhammad
Annaqib,
9. Sayyidina Sayyidina Isa
Arrumi,
10. Sayyidina Ahmad Al-
Muhajir Ilallah.
11. Sayyidina Ubaidillah,
12. Sayyidina Alawi,
13. Sayyidina Muhammad,
14. Sayyidina Alawi Muhammad,
15. Sayyidina Ali Choli’
Qosam,
16. Sayyidina Muhammad
Shohibul Mirbath,
17. Sayyidina Alawi,
18. Sayyidina Amir Abdul
Malik,
19. Sayyidina Abdulloh Khon,
20. Sayyidina Ahmad Syah
Jalal,
21. Sayyidina Jamaludin
Khusen,
22. Sayyidina Ibrohim Asmuro,
23. Sayyidina Ishak,
24. Sayyidina Ainul Yaqin
(Sunan Giri),
25. Sayyidina Abdurrohman
(Jaka Tingkir),
26. Sayyidina Abdul Halim (P.
Benawa),
27. Sayyidina Abdurrohman (P.
Samhud Bagda),
28. Sayyidina Abdul Halim,
29. Sayyidina Abdul Wahid,
30. Sayyidina Abu Sarwan.
31. Sayyidina KH. As’ari,
32. Sayyidina KH. Hasyim
As’ari
33. Sayyidina KH. Abdul Wahid
Hasyim
34 KH. Abdurrahman Wahid (Gus
Dur).
Melalui Sunan Giri :
(Gus Dur)
02. bin KH. Abdul Wahid
03. bin Nyai Hasyim Asy’ari
04. binti Nyai Nafiqoh
05. binti Kyai Ilyas
06. bin Kyai Mas Buntoro
07. bin Nyai Muhammad Santri
08. binti Nyai Ageng
Basyariah
09. binti Ki Ageng Muhammad
Besari
10. bin Nyai Anom Besari
11. binti Panembahan Giri
12. bin Sunan Kawis Guwo
13. bin Sunan Prapen
14. bin Sunan Sedo Ing Margi
15. bin Sunan Dalem Wetan
16. bin Sunan Giri
17. bin Maulana Ishaq
18. bin Ibrahim Zain Al-Akbar
(Ibrahim Asmoro).
19. bin Syekh Husain
Jamaluddin
20. bin Ahmad Syah
Jalaluddin.
21. bin Abdullah
22. bin Abdul Malik Azmatkhan
23. bin Alawi ‘Ammil Faqih
24. bin Muhammad Shahib
Mirbath
25. bin Ali Khali’ Qasam
26. bin Alawi
27. bin Muhammad
28. bin Alawi
29. bin Ubaidillah
30. bin Al-Imam Ahmad Al-
Muhajir
31. bin Isa An-Naqib
32. bin Muhammad An-Naqib
33. bin Ali Al-Uradhi
34. bin Al-Imam Ja’far Ash-
Shadiq
35. bin Al-Imam Muhammad Al-
Baqir
36. bin Al-Imam Ali Zainal
Abidin
37. bin Al-Iman Husain bin Ali
bin Abi Thalib
38. bin Fathimah Az-Zahra’
39. binti Muhammad Rasulillah
Artikel ini hanya sbg sarana untuk belajar dan mengenal profil seorang gusdur.
Sebagai catatan akhir, saya hanya menyampaikan bahwa sebenarnya bukan atau tidak masalah Gusdur keturunan nabi saw atau bukan..yg penting hemat saya..yuk kita cintai para ulama,habib..dan guru-guru kita..karena lewat merekalah kita bisa lbh mengenal islam secara keseluruhan, walaupun masih banyak yg harus kita benahi..
Mencintai para ulama, habib dan guru2 agama kita berarti mencintai islam..mencintai ajaran rasulullah..mencintai rosulullah berarti mencintai islam…dan berarti jg mencintai Allah..
Yuk kita cintai Allah dan Rosul kita..melebihi cinta pada apapun atau siapapun..mudah2an kita mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.
Suatu hari seorang sahabat bertanya kpd rosul Saw, ” ya rosul,siapa orang yg berbahagia didunia ini? “
Rosul menjawab, ” yaitu orang yg pernah melihatku “
“adakah yg lebih berbahagia lagi ya rosul? “, tanya sahabat.
” ada, yaitu orang yg belum pernah melihatku, tp mempercayai ajaranku ” jawab rosulullah..
Subhanallah..maha suci Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar